Senin, 05 Oktober 2015

Tulisan_1SS_PBisnis

“KONSUMERISME.
GAYA YANG MENYEBABKAN PENYAKIT”




Promosi bertebaran di mana-mana, baik di mall, di papan-papan iklan, di toko online, melalui pesan di media sosial, dan tempat-tempat lainnya. Tempat perbelanjaan selalu berlomba-lomba menarik hati setiap konsumen. Jika dulu berbelanja identik dengan perempuan, saat ini sudah menembus berbagai kalangan. Banyak lelaki dapat kita temui di berbagai toko, seperti toko gadget, toko otomotif, ataupun toko baju. Kini berbelanja bukan hal yang tabu bagi kaum laki-laki, tua ataupun muda.



Kita harus mengakui bahwa kita sudah tidak peduli membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Hal ini disebabkan oleh :
  1. Banyaknya media seperti iklan-iklan yang menarik konsumen
  2. Pencampuran budaya
  3. Kehidupan bersosial yang salah. Kehidupan sosial ini cenderung lebih kepada “pamer” kekayaan, tidak ingin dipandang “ketinggalan zaman”. Jadi sesungguhnya tujuan yang dikejar adalah status sosial, eksistensi, dan pengakuan.
Pergeseran- pergeseran ini lah yang mengarahkan kepada sifat konsumtif.

Singkatnya, konsumtif adalah suatu sifat yang menjelaskan ketika seorang konsumen memiliki keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang kurang diperlukan secara berlebihan hanya untuk mencapai kepuasan maksimal. Ketika sifat konsumtif terus berjalan berkelanjutan dan menjadi gaya hidup (sebuah paham) itulah yang disebut dengan konsumerisme.


Sebagai contoh kasus sederhana yang sedang marak terjadi:
  • Dani membeli handphone baru dengan model baru padahal handphone lama masih bagus
  • Rini terus membeli banyak baju, tas dan sepatu hanya untuk bergaya
  • Vira ikut makan di restoran-restoran terkenal agar dapat diterima di lingkungan teman-temannya  yang kalangan kelas atas

Lalu apa dampaknya?
  1. Kecanduan. Ketika seseorang merasa puas dengan “perbelanjaan” yang telah dilakukan, orang tersebut akan terus mencari-cari hal-hal menarik lainnya yang dapat lebih memuaskan dirinya.
  2. Boros. Sama seperti orang yang kecanduan lainnya, semua ini bukan masalah “ada uang berapa?”, “ada uang atau tidak?”. Seseorang akan terus menerus menggerus uangnya bahkan rela berhutang melalui kartu kredit hanya untuk memenuhi hasratnya.
  3. Terpengaruh oleh budaya asing yang negatif. Setelah semua produk dari luar negeri masuk, maka budaya sebelumnya akan terlupakan. Sebagai contoh sederhana ketika seseorang membeli gadget terbaru buatan luar negeri, dengan fitur-fitur yang terus berkembang seseorang tersebut akan terus update di berbagai sosial media hingga hal-hal di sekelilingnya tidak menarik lagi baginya.

Sisi negatif lainnya yang dengan mudah dapat ditemukan:
  1. Konsumerisme menuntun masyarakat pada alienasi atau proses pengasingan dari diri dan keinginannya (bahkan rasionalitasnya). Masyarakat dijadikan proyek produksi yang diiming-imingi sesuatu dan diarahkan pada sesuatu. Masyarakat dibentuk dan dapat kehilangan kesadarannya (consiousness-nya). Ini dapat terlihat dalam pola budaya massa. Juga pencitraan melalui media massa.
  2. Konsumerisme dapat melanggengkan ketidakadilan. Proses produksi dapat dengan mudah menindas kaum yang kecil dan keadilan tidak seimbang. Meskipun budaya massa dapat berarti menyeragaman, tetapi dilihat dari keseimbangan pendapatan dan kekayaan maka akan nampak semakin tidak seimbang. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan terbodohi
  3. Konsumerisme meningkatkan konsumsi dan membahayakan keseimbangan alam. Dengan pola produksi dan konsumsi yang berlebihan, beban bumi dalam menyeimbangkan alam menjadi semakin berat. Mari kita lihat limbah produksi, limbah hasil produksi disertai ketidakmauan berpikir untuk melakukan daur ulang. Hal ini dapat membahayakan bumi.
  4. Konsumerisme dapat meningkatkan kriminalitas. Hal ini disebabkan karena meningkatnya keinginan dan kebutuhan, tanpa diimbangi dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Meskipun ini adalah sisi negatif tidak langsung, tetapi hal ini harus diwaspadai

Dikendalikan atau mengendalikan?

Saat ini pola-pola pikir manusia harus dirubah. Ya, kita harus memilih untuk mengendalikannya. Lalu bagaimana caranya?
  1. Kita harus menanggalkan segala fasilitas-fasilitas yang memungkinkan kita untuk berbelanja dalam jumlah berlebihan (dalam hal ini seperti kartu kredit, dsb)
  2. Kita harus ingat membatasi frekuensi, rentang harga, dan menyisihkan anggaran khusus
  3. Punya prioritas (membuat list)
  4. Pergi ke tempat-tempat yang lebih positif
  5. Mulai menabung


Kita bukanlah pemilik harta kita, melainkan penata layanan yang diberikan kepercayaan untuk mengelola harta (dalam hal ini penghasilan) yang Tuhan percayakan kepada kita. Kita harus dapat mengelolanya sedemikian rupa. Jangan sampai kita dikendalikan nafsu dan hasrat kita untuk terus berbelanja, namun sebaliknya kita harus dapat mengendalikan diri kita untuk berbelanja hal-hal yang kita butuhkan.

Dan mari kita mulai mengggunakan, cinta dan bangga terhadap produk-produk lokal. Go konsumen Indonesia yang lebih bijak!

SUMBER:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar